Stres menjadi awal obesitas. Ini yang disampaikan dr H Bambang Respati, SpKJ dari Rumah Sakit Haji Sukolilo Surabaya. Menurut Bambang, stres yang dialami pria atau wanita membuat mereka menciptakan perangkap pola makan yang tak terkendali.
’’Gangguan kejiwaan seperti depresi, stres berat, dan schizophrenia bisa dialami siapa saja. Diawali rasa cemas yang berlebihan, gangguan ini bisa memicu kelainan sindroma metabolisia,’’ kata Bambang. Kelainan inilah yang terjadi di hypothalamic-pituitary-adrenal axis atau di akses kelenjar hipotalamus, kelenjar adrenalin, dan kelenjar vitoarteria. Akibat gangguan di kelenjar ini, produksi hormon cortisol penyebab stres ikut meningkat. ’’Kalau cortisol meningkat, lemak dalam darah pun jadi tidak normal,” kata Bambang.
Stres menjadi berbahaya saat terjadi perubahan perilaku, psikologi, dan emosi pada seseorang. Saat depresi misalnya, wanita seringkali menjadi karakter yang berbeda dari dirinya. Lebih pemurung atau sebaliknya, memilih untuk bersenang-senang. Saat stres wanita sering membeli sesuatu yang tidak dia butuhkan, dan memakan apapun yang dia ingin. Mereka kerap tidak mengontrol berapa banyak yang dia masukkan ke perutnya. Gangguan afektif inilah yang meningkatkan risiko obesitas. ’’Karena itu, saat kita menyadari kita mulai mudah cemas, tertekan, sebaiknya ceritakan pada sahabat. Kalau sudah berkeluarga, diskusi dengan pasangan. Lalu luangkan waktu untuk travelling,” kata Bambang.
Makan berlebihan tak menjanjikan jalan keluar. Justru, membuat tubuh makin lebar. Siklus inilah yang diyakini sebagai ’’lingkaran setan’’ dan berputar terus-menerus. Menurut Bambang, bila ingin menghentikan perilaku ini, bersikaplah terbuka pada perubahan. Jadilah seseorang yang mampu mencari jalan keluar tanpa menyakiti diri sendiri. Terakhir jangan lupa sempatkan selalu meditasi dan berolahraga 15-20 menit untuk membuat kemampuan berpikir dan merefleksikan diri lebih baik.